Demo buruh hampir tiap bulan mewarnai halaman koran lokal dan Nasional. TV Lokal dan juga Nasional. Bahkan media internasional tidak luput memberitakan aksi unjuk rasa dengan kerusuhan yang berakhir dengan kericuhan. Di Indonesia demo menuntut kenaikan upah minimum kota (UMK) ini diwarnai dengan bentrok antara polisi dengan buruh. Potret yang senantiasa tersaji hampir setiap bulan ini berpangkal dari rendahnya upah buruh (pekerja) serta masih banyaknya pekerja yang belum mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelenggaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelenggaraan program Jamsostek didasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP Nomor 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP Nomor 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP Nomor 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS), dan anggota TNI/Polri.
Jamsostek sebagaimana didasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Lalu, bagaimana Jamsostek dapat meningkatkan kesejahteraan dan melindungi pekerja?
Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui discussion report mengambil definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima, memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak), serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman.
Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal.
Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua subkategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumber daya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya. Sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi.
Hans Gsager dari German Development Institute berpendapat bahwa sistem-sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat. Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga nonpemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kelompok masyarakat (Yohandarwati, dkk Bappenas: 2003).
Dalam UU Nomor 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang mempekerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukkan, sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja, dan mereka belum ter-cover dalam Jamsostek.
Manusia yang Bersumber Daya
Relasi kerja dalam sebuah perusahaan biasanya selalu berkiblat ke Barat. Barat dianggap sebagai corong yang selalu “benar”. “Taklid buta” seperti ini sering kali mengalahkan rasionalitas dan kearifan lokal yang ada di Nusantara. Hal ini tampak jelas pada kegiatan produksi dan paradigma manajemen yang diterapkan.
Kegiatan produksi di masa lalu (yang berkiblat pada Barat), pada umumnya dijalankan dengan mengacu pada paradigma manajemen yang bertumpu pada manusia yang dipandang sebagai sumber daya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa paradigma ini telah berhasil membawa banyak kemajuan bagi mereka yang menerapkannya. Tetapi selama tiga sampai empat dekade terakhir ini, orang mulai menyadari bahwa paradigma itu meninggalkan banyak pertanyaan dan persoalan yang bukan hanya perlu dicarikan solusinya secara filosofis, melainkan juga secara psikososial dan operasional.
Orang juga mulai melihat bahwa paradigma manajemen ini sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan dunia kerja kontemporer. Jadi, paradigma ini sudah sepantasnya dikaji ulang secara saksama dan dipertimbangkan penggunaan paradigma manajemen yang lebih manusiawi dan bertumpu pada manusia yang bersumber daya.
Bagi Frans Mardi Hartono dalam buku Paradigma Baru Manajemen Indonesia, Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani (2009) menyatakan, konsep dasar dari model manusia yang bersumber daya sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia, seperti terungkap dalam tridarma dalam hubungan kerja. Di sana dikatakan bahwa di antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah perlu ada rasa ikut memiliki (rumangsa handarbeni), rasa ikut bertanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan (melu hangrungkebi), dan berani terus-menerus mawas diri (mulat sariro hangroso wani).
Tridarma ini sudah jelas menetapkan bahwa kemajuan dan keberhasilan sistem usaha atau perusahaan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab manajemen yang secara formal mewakili kepentingan para pemilik saham.
Dengan pemahaman baru ini, sudah saatnya pimpinan perusahaan tidak memandang pekerja sebagai buruh yang dibayar. Mereka sudah saatnya dipandang sebagai mitra kerja strategis. Sebagai mitra kerja, pekerja merupakan ujung tombak keberlangsungan usaha. Ketika ujung tombak dimanusiakan, maka akan timbul rasa cinta terhadap pekerjaan yang digeluti, sehingga hasil kerja dapat maksimal dan bernilai lebih.
Pada akhirnya, perusahaan harus mampu menciptakan tatanan manajemen baru dan mampu bermitra dengan PT Jamsostek guna meningkatkan kesejahteraan pekerja. Tanpa hal yang demikian, upaya peningkatan kesejahteraan pekerja melalui UMP hanya akan sia-sia belaka.
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelenggaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelenggaraan program Jamsostek didasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP Nomor 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP Nomor 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP Nomor 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS), dan anggota TNI/Polri.
Jamsostek sebagaimana didasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Lalu, bagaimana Jamsostek dapat meningkatkan kesejahteraan dan melindungi pekerja?
Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui discussion report mengambil definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima, memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak), serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman.
Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal.
Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua subkategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumber daya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya. Sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi.
Hans Gsager dari German Development Institute berpendapat bahwa sistem-sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat. Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga nonpemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kelompok masyarakat (Yohandarwati, dkk Bappenas: 2003).
Dalam UU Nomor 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang mempekerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukkan, sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja, dan mereka belum ter-cover dalam Jamsostek.
Manusia yang Bersumber Daya
Relasi kerja dalam sebuah perusahaan biasanya selalu berkiblat ke Barat. Barat dianggap sebagai corong yang selalu “benar”. “Taklid buta” seperti ini sering kali mengalahkan rasionalitas dan kearifan lokal yang ada di Nusantara. Hal ini tampak jelas pada kegiatan produksi dan paradigma manajemen yang diterapkan.
Kegiatan produksi di masa lalu (yang berkiblat pada Barat), pada umumnya dijalankan dengan mengacu pada paradigma manajemen yang bertumpu pada manusia yang dipandang sebagai sumber daya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa paradigma ini telah berhasil membawa banyak kemajuan bagi mereka yang menerapkannya. Tetapi selama tiga sampai empat dekade terakhir ini, orang mulai menyadari bahwa paradigma itu meninggalkan banyak pertanyaan dan persoalan yang bukan hanya perlu dicarikan solusinya secara filosofis, melainkan juga secara psikososial dan operasional.
Orang juga mulai melihat bahwa paradigma manajemen ini sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan dunia kerja kontemporer. Jadi, paradigma ini sudah sepantasnya dikaji ulang secara saksama dan dipertimbangkan penggunaan paradigma manajemen yang lebih manusiawi dan bertumpu pada manusia yang bersumber daya.
Bagi Frans Mardi Hartono dalam buku Paradigma Baru Manajemen Indonesia, Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani (2009) menyatakan, konsep dasar dari model manusia yang bersumber daya sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia, seperti terungkap dalam tridarma dalam hubungan kerja. Di sana dikatakan bahwa di antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah perlu ada rasa ikut memiliki (rumangsa handarbeni), rasa ikut bertanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan (melu hangrungkebi), dan berani terus-menerus mawas diri (mulat sariro hangroso wani).
Tridarma ini sudah jelas menetapkan bahwa kemajuan dan keberhasilan sistem usaha atau perusahaan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab manajemen yang secara formal mewakili kepentingan para pemilik saham.
Dengan pemahaman baru ini, sudah saatnya pimpinan perusahaan tidak memandang pekerja sebagai buruh yang dibayar. Mereka sudah saatnya dipandang sebagai mitra kerja strategis. Sebagai mitra kerja, pekerja merupakan ujung tombak keberlangsungan usaha. Ketika ujung tombak dimanusiakan, maka akan timbul rasa cinta terhadap pekerjaan yang digeluti, sehingga hasil kerja dapat maksimal dan bernilai lebih.
Pada akhirnya, perusahaan harus mampu menciptakan tatanan manajemen baru dan mampu bermitra dengan PT Jamsostek guna meningkatkan kesejahteraan pekerja. Tanpa hal yang demikian, upaya peningkatan kesejahteraan pekerja melalui UMP hanya akan sia-sia belaka.
0 komentar:
Posting Komentar